Laman

Selasa, 05 Juni 2012

EKEKUTIF BANK DAN ANAK YATIM

Seorang Eksekutif Bank dari sebuah Bank Asing ternama sedang berada dipuncak karir, yang rasanya apapun bisa ia peroleh dengan uang dan jabatan yang ia miliki saat itu. Dunia telah berada dalam genggamannya. Padahal ia mulai berkarir benar-benar dari bawah, dari seorang Office Boy hingga menjadi Vice President, Dengan posisi tersebut ia tidak lagi dihinakan, bahkan ia dipuja dan sangat dihormati.

Banyak orang beranggapan bahwa kekayaan adalah segalanya, materi akan menyelesaikan segalanya. Akan tetapi hati kecilnya tidak bisa berdusta. Ada noktah kekosongan disana. Hatinya galau dan risau memikirkan untuk apa semua pencapaian, prestasi dan kekayaan yang selama ini ia peroleh. Ia sering mengalami kekosongan hati.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, begitu seterusnya, Ia menjalani hari-hari dengan hambar. Tidak ada yang dilakukannya selain bekerja dan bekerja. Sampai suatu ketika di Bulan Ramadhan seorang rekan mengajaknya pergi ke suatu tempat.

“ikut sama gua, yuk ” seorang rekan mengajak, tampaknya dia sudah lama mengetahui kegalauan hatiku.

“kemana? Emang mau ngapain” begitu jawabnya

“adalaah, ikut aja… ngga ada ruginya ikut ama gua” begitu sang rekan mencoba meyakinkan.

Akhirnya Eksekutif Bank tersebut bersedia di ajak, toh ia sedang memiliki keluasan waktu, tidak ada ruginya untuk mengikuti ajakannya.

Ternyata temannya tersebut mengajaknya ke sebuah Pengajian di sebuah Panti Asuhan Anak Yatim. Sepertinya temannya tsb telah terbiasa mengikuti pengajian seperti ini, mungkin sudah lama menjadi salah satu pengurus di Panti tersebut. Iapun larut mengikuti acara pengajian yang diselenggarakan. Pada dasarnya pengajian seperti itu sering ia ikuti kala masih di kampung dulu. Ramai sekali suasana pengajian, namun Ia seperti tidak merasakan kehangatan suasana seperti itu.

Ia memperhatikan anak-anak yang duduk bershalawat, mereka adalah anak-anak yang sudah tidak lagi memiliki orang tua. Suara takbir, tahlil dan tasbih sahut menyahut, sementara ia beku di tengah keramaian. Hatinya hampa dan gelisah.

Pengajian pun selesai tapi acara belum usai, ia berusaha meninggalkan ruangan. Ia berjalan-jalan keluar, masih diseputaran gedung panti Asuhan. Di tengah temaram bulan yang sedikit bersinar, ia melihat sinarnya tersembul sedikit diantara pintalan awan, Ia melangkah perlahan. Ia tendangi kerikil-kerikil kecil, mencoba mengatasi kegundahan yang ada. Beberapa anak yatim bermain berlarian di halaman panti, ia berusaha mengamati mereka semua. Tiba-tiba semungil panggilan menyeruak.

“Om, Om.. Om kan yang tadi di dalam ya, tadi ikut pengajian kan?”

Ternyata seorang anak perempuan memanggilnya .

“iya nak” “hmm siapa namamu sayang?” Ia balik bertanya

“Aku Nina om”

“cantik sekali Nina, Nina sedang apa” Ia membungkukkan badan, berusaha menyamai tinggi anak itu. “Nina sudah sekolah, sekolah dimana?”

“Sudah om, sekolah Nina dekat kok disini”

“pintar-pintar belajar ya nak disekolah,”

“Sini nak, temanin om lihat-lihat panti ya”

Ia pun berkeliling bersama Nina melihat lihat keadaan panti, kami mengobrol penuh canda, kampun pun semakin akrab .

Tiba-tiba Nina menyampaikan sesuatu yang tidak pernah diduga.

“Om hmm om”, suara Nina tercekat.

“ada apa Nina, kok kamu terlihat gelisah? Apa om bisa bantu?

“ini om… Nina boleh minta sesuatu ga, tapi om jangan marah yaaa”

“tentu Nina, om gak akan marah, Nina emang perlu apa?” Ia berjongkok mensejajarkan dengan Nina.

Lama Nina terdiam, wajahnya pucat menahan sekat ditenggorokan. Ia mengelus-elus kepalanya. “ada apa Nina… bilang sama Om, pasti om bantu”

“Om bolehkah Nina memanggil Ayah kepada Om?”

“Om ngga marah kan?”

“Om mau kan jadi ayah Nina?”

Bercecaran Nina mengeluarkan isi hatinya.

Eksekutif tersebut kaget, terdiam, tersungkur dalam keheningan.

Seketika ia peluk anak yatim tersebut, sungguh sebuah permintaan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ternyata bukan boneka yg diminta Nina, bukan jg uang, hanya sebuah sebutan 'Ayah'. Tanpa terasa hatinya bergetar.

“tentu anakku, tentu” “Nina boleh memanggil Ayah”

Dipeluknya erat-erat Nina, tak terasa airmatanya telah mengalir, mengisi setiap relung kekosongan hatinya. Inikah petunjuk-Mu ya Rabb, ucapnya syukur dalam hati.

Kemudian Eksekutif Bank tersebut berniat untuk berpamitan

“Nina, ini kan sudah malam, Ayah pulang dulu ya, besok ayah kembali lagi, Nina istirahat ya, kan besok harus sekolah”

"Makasih..Ayah. kapan Ayah akan datang lagi ?"

"Boleh, sayang, Besok Nina mau dibawakan apa sama Ayah?” ia mencoba berpamitan

“Ngga usah ayah, Nina sudah senaaang sekali sekarang, karena sudah punya ayah.

“Ninaaa, kalau nina tidak minta, ayah tidak mau pulang”

Eksekutif Bank tsb membuka dompetnya “Lihat ini uang Ayah banyaak sekali, Nina tinggal minta , pasti Ayah belikan”

“tidak Ayah , Nina tidak ingin apa-apa”

“kalau Nina tidak mau , nanti Ayah tidak kesini lho besok” Ia sedikit mengancam

Nina terdiam cukup lama, “tapi Ayah jangan marah ya”

“iya nak, pasti Ayah membawakan”

“Ayah, selama ini Nina ingin memiliki sesuatu”

“apa itu nak?”

“Nina ingin punya foto”

“foto apa nak, ayah bisa bawakan kamera buat Nina, Nina mau kamera?”

“bukan ayah, bukan itu” , ”Nina ingin foto ayah dan ibu”

“loh untuk apa nak”

“buat diperlihatkan disekolah yah, Nina ingin memperlihatkan foto ayah dan ibu, kalau Nina sekarang punya ayah dan ibu”

Sang Eksekutif Bank tersebut mengangguk, seketika ia berlinang air mata, menangis tersedu-sedu. Sang Eksekutif Bank tsb memeluk Nina dan berkata, "Nina, besok Ayah akan datang lagi ke sini bersama ibumu dan kakak-kakak-mu dan akan Ayah bawa Foto Ayah dan Ibumu."

Kemudian ia pulang. Di mobilnya ia masih menangis tersedu, dadanya sesak, pintu langit seperti terbuka, Tuhan telah membukakan mata hatinya, mengisi setiap relung-relung yang selama ini terasa kosong. Ternyata uang yang banyak, materi bukanlah segalanya, kesuksesan bukan akhir dari sebuah kehidupan. Selama ini Ia mungkin terlalu sibuk hingga telah melupakan satu hal yaitu berbagi dan mengasihi.

Sahabatku,

Cerita di atas bukanlah fiktif, tapi memang kisah nyata. Sang Eksekutif tersebut bernama Bapak Houtman Zainal Arifin, bekas Office Boy di Citibank, yang karena ketekunannya dan kegigihannya serta rahmat Allah, akhirnya 19 tahun kemudian sejak Pak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First National City Bank (Citibank, NA), Pak Houtman mencapai jabatan tertingginya yaitu Vice President. Sebuah jabatan puncak citibank di Indonesia bagi orang Indonesia waktu itu.

Sampai dengan saat ini barangkali belum ada yang mampu memecahkan rekor Pak Houtman yang masuk sebagai OB pensiun sebagai Vice President, dan hanya berpendidikan SMA. Pak Houtman pun kini pensiun dengan berbagai jabatan pernah diembannya, menjadi staf ahli Citibank Asia Pasifik, menjadi penasehat keuangan salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi inspirator bagi banyak orang .

Kisah di atas sering Pak Houtman ungkapkan dalam berbagai kesempatan, bukan bermaksud bahkan jauh dari riya’ tentunya, tapi Pak Houtman sekedar memotivasi dan mengingatkan kita bahwa untuk mencapai kebahagiaan itu bukan saat kita bisa memiliki segalanya, melainkan saat kita bisa memberi apa yang kita miliki untuk orang lain, meski hanya sebuah ungkapan cinta, meski sekedar memasukkan kebahagiaan kepada orang lain. Dan Pak Houtman telah memasukkan kebahagiaan kepada Nani yang Yatim.

Pak Houtman, yang usianya sudah berkepala 6 kini lebih aktif di masalah sosial, antara lain sebagai Penaaehat di Yayasan Dompet Dhuafa Republika. Ia dan istrinya juga sibuk mengurus sebuah Yayasan Yatim Piatu dan Dhuafa di Selatan Jakarta.

Semoga Allah Swt memanjangkan umur beliau, memberikan kesehatan kepada beliau serta kebaikan yang banyak kepada beliau dan juga keluarganya. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar