Bangsa ini butuh pemimpin-pemimpin yang berwawasan luas dan mempunyai jangkauan jauh ke masa depan menyiapkan dasar-dasar sistem yang baik bagi kehidupan rakyat mendatang.
Orde baru sudah berjalan selama 32 tahun, dan kemudian diganti dengan Orde Reformasi empat kali silih berganti kepemimpinan maksudnya untuk mencari Indonesia yang lebih maju.
Akan tetapi, Indonesia masih tetap terpuruk dalam upaya mereformasi membangun diri, masih ada kepentingan politik praktis, yang mengesampingkan kepentingan rakyat,
Lemahnya perekonomian yang ditandai oleh banyaknya pengangguran, rendahnya daya saing, investasi yang tidak kunjung tiba, membuat Indonesia makin terperosok dalam kemiskinan. Celakanya, penderitaan yang menimpa bukannya membuat bangsa ini sadar dan tertantang untuk berjuang memperbaiki nasib, melainkan menipu diri dengan mimpi-mimpi indah dan menggantungkan diri kepada belas kasihan masyarakat dunia, yang pasti diboncengi dengan kepentingan asing. Kerja keras, hidup hemat dan berani menderita yang seharusnya menjadi semangat untuk keluar dan kesulitan tidak kunjung nampak. Yang makin menonjol justru melanjutkan gaya hidup boros dengan menghamburkan aset nasional serta menjadikan utang sebagai penunjang gaya hidup. Masalah-masalah besar yang menumpuk bukannya dihadapi dengan berani, tetapi yang dilakukan adalah lari dan masalah, mencari-cari alasan dan menundanya, seakan semua urusan bisa ditunda.
Ini berarti bahwa generasi baru akan -mewarisi masalah dan penderitaan yang luar biasa besar. Dapat dibayangkan bagaimana sengsaranya kehidupan rakyat Indonesia mendatang yang dibebani dengan perekonomian yang terus terpuruk. Utang menumpuk, sumber daya alam nyaris punah disertai kerusakan lingkungan hidup. Ditambah lagi dengan kemerosotan akhlak serta kemelut sosial politik yang tiada habisnya. Lebih celaka lagi, keadaan tersebut sangat mungkin membawa perpecahan bangsa, baik karena konflik horisontal atau internal maupun pengaruh dan campur tangan pihak luar. Berbagai kajian dan data baik dan lembaga-lembaga domestik maupun internasional jelas rnenunjukkan betapa merosotnya Indonesia .
Pertumbuhan ekonomi lambat, infrastruktur hancur, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan buruk, produktivitas dan daya saing rendah, tingkat korupsi dan krisis moral yang menyeramkan, tidak ada yang bisa dibanggakan..Yang menyedihkan, para elit politik dan pemimpin lebih banyak menutupi atau mengalihkannya dengan slogan-slogan muluk dan tidak didukung dengan dasar yang realistik.
Sebenarnya reformasi tidak harus merubah semua hal, ada hal-hal baik yang telah diletakkan oleh rejim pada masa Orde Lama seharusnya perlu dipertahankan.
Mencari pemimpin yang mampu menunjukkan pandangan/wawasan jauh kedepan, bahwa yang paling penting adalah mempersiapkan manusia untuk membangun kembali untuk menjadi salah satu negara besar ekonominya dan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Seharusnya itu semua bisa menggugah kesadaran dan membangkitkan tekad untuk keluar dari lumpur masalah. Dalam keadaan seperti itu, yang patut dipersalahkan terutama adalah para pemimpin dan elit bangsa. Perubahan sistem politik dan empat kali pergantian presiden membuktikan bahwa mereka mereka tidak mampu menghayati persoalan, berani melakukan perubahan serta yang lebih penting, menjadi teladan bagi rakyat.
Harga diri sebagai bangsa, semangat untuk menyelamatkan bangsa dan negara bagi generasi sekarang maupun mendatang, keberanian merubah gaya hidup, menderita sekarang untuk kebahagiaan masa depan, tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka. Semangat pengabdian yang seharusnya menjadi pedoman telah digantikan oleh nafsu berkuasa.
Karena dalam setiap negara tanggung jawab terbesar ada pada Kepala Negara/pemimpin pemerintahan, maka demikian pula untuk Indonesia, yang perlu disoroti adalah bagaimana visi, konsep membangun negara serta kebijakan mereka sebagai pemimpin dalam mencapai tujuan mensejahterakan rakyat.
Sayangnya selama ini para pemimpin tidak ada yang mempunyai visi jauh kedepan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini para elit politik dan pemimpin lebih banyak berpikir serta berbuat selama masa jabatannya, yaitu 5 atau paling lama 10 tahun. Karenanya mereka cenderung berbuat dan mengambil keputusan jangka pendek, tidak lagi berpikir apalagi berbuat untuk masa depan bangsa. Tidak heran kalau masyarakat, apalagi rakyat kecil menjadi apatis, tidak peduli lagi dengan proses politik, pemilu atau kehidupan berbangsa dan bemegara. Para pemimpin sekarang tidak ada lagi yang dicintai atau dihormati. Kebanyakan mereka sekarang bahkan dibenci atau dilecehkan. Semoga masih ada waktu bagi mereka untuk sadar kembali.